Karenaitu, aku tinggalkan perdagangan dan fokus untuk beribadah," kata Abu Darda, dikutip dari Biografi 60 Sahabat Rasulullah SAW karya Khalid Muhammad Khalid. Sejak memeluk Islam, Abu Darda tak pernah berhenti belajar. Beliau selalu merenung dan berpikir. Abu Darda berguru pada Nabi Muhammad SAW hingga beliau menjadi seorang ahli hikmah.
Dari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu anhu berkata, “Salman al-Farisi menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seorang budak saja. Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam. Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja melarang aku keluar rumah. Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan? Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’ Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, Dari mana asal usul agama ini?’ Mereka menjawab, Dari Syam Syiria.’ Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, Anakku, ke mana saja kamu pergi? Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’ Ayahku menjawab, Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya. Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka. Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria. Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, Uskup pendeta yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, Silahkan.’ Maka akupun tinggal bersamanya. Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak. Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’ Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’ Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu. Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu bukan seorang muslim yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu. Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Orang itu berkata, Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku. Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakatpun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul kota di Irak, yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’ Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’ Kemudian orang yang kutemui itu berkata, Silahkan tinggal bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Orang itu berkata, Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin kota di Aljazair, yakni Fulan. Temuilah ia!’ Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku. Orang itu berkata, Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik. Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’ Orang itu berkata, Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria kota di Romawi. Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’ Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, Silahkan tinggal bersamaku.’ Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan. Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan?dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’ Orang itu berkata, Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’ Kemudian orang inipun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka. Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi. Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas. Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah. Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, Fulan, Celakalah Bani Qailah suku Aus dan Khazraj. Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’ Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’ Aku menjawab, Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’ Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’ Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, Silahkan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, Ini satu tanda kenabiannya.’ Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepada engkau.’ Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, Inilah tanda kenabian yang kedua.’ Selanjutnya aku menemui beliau Shallallahu alaihi wa sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang disebutkan Si Fulan kepadaku. Pada saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis. Rasulullah bersabda kepadaku, Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.” Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah shallallohu alaihi wasallam suatu hari bersabda kepadaku, Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon tunas kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon. Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam dan memberitahukan perihalku. Kemudian Rasulullah shallallohu alaihi wasallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon tunas kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati. Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau bersabda, Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!’ Wahai Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan. Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.” [1] PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK Di antara hasil/buah mentaati kedua orang tua adalah dicintai orang. Masuk penjara, cekal, rantai adalah cara musuh Islam menghalangi kaum muslimin dalam menegakkan agama Allah. Jika gigih memperjuangkan keimanan maka urusan dunia terasa ringan. Berpegang pada keimanan lebih kokoh dari seluruh rayuan. Hendaknya seorang mukmin senantiasa siap mental menghadapi segala kemungkinan. Terkadang orang-orang jahat mengenakan pakaian/menampakkan diri sebagai orang baik-baik. Jalan mencapai ilmu tidak bisa ditempuh melainkan dengan senantiasa dekat dengan orang yang berilmu. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah memberikan jalan keluar dari problematika hidupnya. Takaran keimanan seseorang adalah mencintai dan membenci karena Allah. Di antara akhlak terpuji para nabi adalah mau mendengarkan seseorang yang sedang berbicara dengan baik. Seorang pemimpin hendaknya senantiasa memantau kondisi bawahannya. Diperbolehkan membeli budak dari tawanan perang, menghadiahkan dan memerdekakannya. Saling tolong menolong adalah gambaran dari wujud hidup bermasyarakat. ________________ [1] HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabrani dalam al-Kabir 6/222; Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat, 4/75; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/323. [Sumber Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-Kiram, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, edisi bahasa Indonesia “61 KISAH PENGANTAR TIDUR Diriwayatkan Secara Shahih dari Rasulullah dan Para Sahabat”, pent. Pustaka Darul Haq, Jakarta] KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28
Semua mahar dan nafkah yang telah kupersiapkan sebelumnya, akan kuberikan semua kepada Abu Darda. Aku juga akan menjadi saksi atas pernikahan kalian," terang Salman dengan penuh kelapangan hati. Begitulah kisah cinta yang mengharukan dari salah satu sahabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik

Salman al-Farisi merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Lelaki itu berasal dari Persia. Di negeri asalnya, ia merupakan orang merdeka. Namun, dalam perjalanan ke Jazirah Arab untuk mencari utusan Allah—sebagimana dipesankan seorang mantan gurunya—ia mengalami musibah. Sampai-sampai, dirinya sempat menjadi budak belian. Saat berjumpa dengan Rasulullah SAW, Salman langsung menyatakan keimanannya. Dengan bantuan beliau dan sejumlah Muslimin, dirinya pun dibebaskan dari status hamba sahaya. Sejak saat itu, ia tidak pernah absen dari perjuangan di jalan dakwah bersama dengan Nabi SAW. Mengikuti jejak beliau, Salman turut berhijrah ke Madinah. Di kota tersebut, Rasul SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan penduduk setempat Anshar. Bagi yang belum memiliki tempat tinggal, dipersilakan menempati pelataran Masjid Nabawi yakni bagian yang disebut sebagai Suffah. Saat berjumpa dengan Rasulullah SAW, Salman langsung menyatakan keimanannya. Di Madinah, Salman sangat rajin dalam menuntut ilmu dan juga bekerja. Ia menghayati betul sabda Nabi SAW, “Tidak ada orang yang mendapatkan makanan yang lebih baik daripada hasil dari pekerjaan tangannya sendiri.” Sebagian penghasilannya ditabung untuk menghadapi hari depan. Akhirnya, Salman ingin menikah. Selama ini, hatinya diam-diam condong pada seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Akan tetapi, dirinya belum berani melamar Muslimah tersebut. Sebagai seorang pendatang dari luar Arab, ia merasa kurang percaya diri. Bagaimana adat melamar wanita menurut tradisi masyarakat Madinah? Ia belum bisa memastikan. Yang jelas, jangan sampai melangkah tanpa persiapan yang matang. Karena itu, Salman berinisiatif untuk meminta bantuan dari seorang Anshar, yakni Abu Darda. Begitu mengetahui maksud kedatangan Salman, Abu Darda mengucapkan hamdalah. Sosok yang bernama asli Uwaimir bin Malik al-Khazraji itu turut senang melihat seorang Muslim yang saleh hendak menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu, dirinya bersedia membantu pemuda asal Persia tersebut. Selama beberapa hari, segala persiapan dilakukan. Barulah kemudian, Salman dengan ditemani Abu Darda mendatangi kediaman keluarga sang gadis yang dimaksud. Mereka diterima dengan baik oleh tuan rumah. Salman dengan ditemani Abu Darda mendatangi kediaman keluarga sang gadis yang dimaksud. Mereka diterima dengan baik oleh tuan rumah. “Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya, Salman, dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam. Ia pun turut dalam jihad dan beramal di sisi Rasulullah SAW. Bahkan, beliau menganggapnya sebagai anggota keluarga sendiri,” ujar Abu Darda dengan fasihnya menggunakan dialek bahasa Arab Madinah. Setelah perkenalan, ia pun menyampaikan maksud kedatangan. Tujuannya bertamu ialah mewakili Salman untuk melamar putri sang tuan rumah. Rupanya, bapak si gadis itu merasa senang sekali. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah SAW yang mulia. Kami pun senang jika memiliki menantu dari kalangan sahabat,” ujar ayah si wanita. Namun, sang tuan rumah tidak langsung memberi keputusan. Seperti yang diajarkan Rasulullah SAW, ia terlebih dahulu menanyakan pendapat putrinya tentang lamaran tersebut. “Jadi, saya serahkan keputusan pada putri kami,” ujarnya kepada kedua tamunya itu. Selama beberapa menit, ia meninggalkan Salman dan Abu Darda sejenak di ruang tamu. Dari arah kamar, kemudian datanglah sang tuan rumah dan istrinya. Adapun putri mereka berada di balik hijab. Gadis itu telah mengetahui duduk perkara kedatangan Salman dan Abu Darda. Sejurus kemudian, ibunda wanita itu berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang.” Seketika, kedua tamu itu merasa tegang menanti jawaban. Gadis itu telah mengetahui duduk perkara kedatangan Salman dan Abu Darda. Sejurus kemudian, ibunda wanita itu berkata. “Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” sambung si ibu. Jawaban tersebut sempat mengguncang hati Salman. Bagaimanapun, sahabat Nabi SAW itu tetap tegar. Ternyata, apa yang ingin disampaikan istri tuan rumah itu belum selesai. “Namun, lantaran kalian berdualah yang datang kepada kami, dengan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan. Putri kami akan menjawab iya apabila Abu Darda yang memiliki keinginan yang sama seperti Salman.” Perkataan itu menggetarkan lagi dada Salman. Ternyata, gadis yang ingin dilamarnya itu lebih memilih Abu Darda. Boleh jadi, sang sahabat Nabi SAW akan patah hati menghadapi situasi ini. Akan tetapi, yang ditunjukkannya adalah perasaan gembira. Kekukuhan iman membuatnya ikut senang dengan kebahagiaan yang diterima kawannya, Abu Darda. “Allahu akbar, semua mahar dan harta yang kupersiapkan hari ini akan kuserahkan kepada Abu Darda. Aku pun bersedia menjadi saksi pernikahan kalian,” katanya dengan wajah senang dan kelapangan hati. Akhirnya, disepakatilah mengenai tanggal pernikahan. Dalam perjalanan pulang, Abu Darda mengungkapkan perasaannya, “Wahai Salman, aku merasa malu padamu atas terjadinya peristiwa tadi.” “Aku lebih pantas merasa malu denganmu. Aku memang hendak melamarnya, sementara Allah telah memutuskan bahwa wanita tersebut adalah untukmu,” kata Salman. Alih-alih kecewa atau iri dengki, ia ikut merasa gembira dengan rezeki Allah SWT yang sampai pada sahabatnya. Ketegaran dan ketulusan hatinya patut menjadi uswah bagi kita semua.

ReadKISAH CINTA SALMAN AL-FARISI from the story Kisah Inspirasi by Hasyarasyuqo (ديياسري راحماواتي) with 3,580 reads. kisah, motivasi, inspirasi. KISAH CINTA ABU KAMIL BIN IBRAHIM KISAH CINTA UMAR DAN FATIMAH BINTI ABDUL MALIK SALMAN Al-Farisi, sahabat yang terkenal dengan idenya untuk membuat parit dalam Perang Khandaq dipersaudarakan dengan Abu Al-Darda’ dari suku Khazraj, oleh Rasulullah. Sebelum memeluk Islam, Abu Al-Darda’ adalah seorang pedagang. Suatu ketika Salman Al-Farisi berkunjung ke rumah saudaranya yang kelak diangkat oleh Umar bin Al-Khaththab sebagai seorang hakim di Damaskus, Suriah. Kala itu, Abu Al-Darda’ belum pulang. Begitu dipersilakan masuk ke dalam rumah, dia melihat istri saudaranya tersebut berpakaian lusuh. Melihat hal itu, Salman pun bertanya kepada Khairah, istri Abu Al-Darda’, “Mengapa engkau seperti ini?” BACA JUGA Abu Darda Redam Hawa Nafsu hingga Memperoleh Mutiara Batin “Saudaramu, Abu Al-Darda, kini tak lagi memerlukan dunia,” jawab Umm Al-Darda dengan suara pelan. Ketika Abu Al-Darda datang, makanan pun dihidangkan kepada Salman Al-Farisi. Abu Al-Darda kemudian berkata kepada saudaranya yang lahir di Isfahan itu, “Saudaraku, silakan nikmati makanan ini sendiri. Aku sedang berpuasa sunnah.” “Saudaraku, aku takkan makan selama engkau tak makan bersamaku!” jawab Salman, Abu Al-Darda pun makan untuk menghormati tamunya. Ketika malam datang dan kemudian semakin kelam, Abu Al-Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat hal itu, Salman pun berkata kepadanya, “Saudaraku! Tidurlah!” Abu Al-Darda pun menuruti permintaan saudaranya itu. Kemudian, ketika malam semakin malam, Abu Al-Darda bangun lagi untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat saudaranya yang memeluk Islam pada tahun terjadinya Perang Badar tersebut hendak melaksanakan shalat tahajud, Salman sekali lagi mencegahnya dan memintanya tidur. Permintaan itu dipenuhi Abu Al-Darda’ untuk menghormati tamunya. Ketika malam hampir tiba di akhir perjalanannya, Salman Al-Farisi bangun dan berkata kepada Abu Al-Darda’, “Sekarang, mari kita shalat tahajud berjamaah!” BACA JUGA Amalan Terbaik, Terbersih di Sisi Allah yang Disampaikan Abu Darda Mereka berdua lantas melaksanakan shalat tahajud berjamaah. Selepas shalat, Salman kemudian berkata kepada Abu Al-Darda’, ”Saudaraku! Tuhanmu punya hak yang harus engkau penuhi. Istrimu juga punya hak yang harus engkau penuhi. Karena itu, penuhilah hak masing-masing secara seimbang!” Merasa kurang yakin dengan masukan Salman Al-Farisi, keesokan harinya Abu Al-Darda’ menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan mengadukan hal itu. Mendengar keluhan Abu Al-Darda’ tersebut, beliau berkata, “Salman memang benar.” [] Sumber Rumah Cinta Rasulullah/ Muhammad Rofi Usmani/ Mizan/ 2007
\n kisah salman al farisi dan abu darda
Beritaharian Abu Darda terkini, terlengkap, hari ini - Kisah Abu Darda, Terlalu Rajin Ibadah Sehingga Lupa Istri dan Membenci Harta. Kisah Salman Al-Farisi: Ahlul Bait yang Bergelar Luqmanul Hakim loading...Kisah cinta Salman Al Farisi adalah perasaan cinta karena iman, sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Foto ilustrasi/ist Mungkin kita sering mendengar ada teman atau sahabat menelikung cinta ? Atau kala harus menghadapi kenyataan pahit bahwa orang yang kita cintai justru memilih sahabat sendiri untuk dinikahi? Tak terbayang bagaimana perasaan tahukah muslimah? Ternyata kisah seperti itu sudah terjadi lebih dari tahun yang lalu. Kisah dari sahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi, yang darinya kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah terpuji sebagai seorang mukmin tersebut termaktub dalam kitabShifat al-Shafwahkarya Ibnu al-Jauzi.Baca juga Inilah Pintu - pintu Surga untuk Perempuan Kisah itu dimulai saat Salman Al-Farisi, anak seorang bangsawan , bupati, di daerah kelahirannya, Persia . Ketika sudah memasuki usia yang cukup untuk menikah. Hati Salman kepincut perempuan Anshar. Yakni perempuan asli kelahiran Madinah. Di kalangan kaum Anshar , Salman sejatinya dianggap sebagai keluarga mereka. Demikian juga kaum Muhajirin . Pendatang dari Makkah ini juga menganggap Salman bagian dari kaum bagaimana pun, Madinah bukanlah tempat ia tumbuh dewasa. Ia berpikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi urusan pelik bagi seorang pendatang seperti dirinya. Maka, disampaikanlah gejolak hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.Baca juga Hakikatnya untuk Diri Sendiri, Maka Berikan Sedekah dengan Harta Terbaik Abu Darda pun sangat senang mendengar kabar dan niat baik sahabatnya itu. “Subhanallah, Walhamdulillah,”ujar Abu Darda mengungkapkan kegembiraannya. Dan ketika itu pula, Salman Al Farisi bermaksud melamar gadis pujaan hatinya itu. Dia mengajak sahabatnya, Abu Darda, untuk menemaninya. Abu Darda merasa tersanjung dengan ajakan Salman itu. Ia pun memeluk Salman Al Farisi dan bersedia segala sesuatunya dianggap beres, keduanya pun mendatangi rumah sang gadis. Selama perjalanan, mereka tampak gembira. Setiba di tujuan, keduanya diterima dengan tangan terbuka oleh kedua orang tua wanita Anshar tersebut.Baca juga Mihnah, Pelengkap Busana Muslimah yang Penting Diketahui Abu Darda menjadi juru bicara. Ia memperkenalkan dirinya dan juga Salman Al Farisi. Ia menceritakan mengenai Salman Al Farisi yang berasal dari Persia. Abu Darda juga menceritakan mengenai kedekatan Salman Al Farisi yang tak lain adalah sahabat Rasulullah SAW. Dan terakhir adalah maksudnya untuk mewakili sahabatnya itu untuk maksud mereka melamar putrinya, membuat tuan rumah merasa sangat terhormat. Mereka senang akan kedatangan dua orang sahabat Rasulullah. Hanya saja, sang ayah tidak serta merta menerima lamaran itu. Sebagaimana diajarkan Rasulullah, sang ayah harus bertanya dulu bagaimana pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Karena jawaban itu adalah hak dari putrinya secara penuh.Baca juga Babak Baru UU Cipta Kerja, 40 Aturan Turunan Dikejar Demi Diterima Buruh Sang ayah pun lalu memberikan isyarat kepada istri dan juga putrinya yang berada di balik hijabnya. Ternyata sang putri telah mendengar percakapan sang ayah dengan Abu Darda. Gadis ini juga telah memberikan pendapatnya mengenai pria yang jantung Salman Al Farisi saat menunggu jawaban dari balik tambatan hatinya. Abu Darda pun menatap gelisah pada wajah ayah si gadis. Dan tak begitu lama semua menjadi jelas ketika terdengar suara lemah lembut keibuan sang bunda yang mewakili putrinya untuk menjawab pinangan Salman Al Farisi.Baca juga Waspadai Pancaroba, Dosen Ini Ingatkan Pentingnya Jaga Imunitas Tubuh “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” kalimat itu membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda berdebar tak sabar. Perasaan tegang dan gelisah pun menyeruak dalam diri mereka berdua.“Karena kalian berdua yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda juga memiliki keinginan yang sama seperti keinginan Salman Al Farisi,” katanya.Baca juga Aksi Gerakan Saling Berbagi Digelar di Depok, Warga Ikutan Taruh Bahan Pangan Keterusterangan yang di luar prediksi. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Hal Ironis sekaligus indah. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati.
Salimmaula Abi Hudzaifah (bahasa Arab: سالم مولى أبي حذيفة) adalah sahabat Nabi Muhammad yang berasal dari Persia. Ia merupakan bekas budak Abu Hudzaifah bin Utbah.Salim ikut berperang melawan Musailamah al-Kazzab dalam Pertempuran Yamamah (bagian dari Perang Riddah).Dia terjun ke barisan musuh dan akhirnya syahid dalam pertempuran itu bersama Abu Hudzaifah.
- Ada banyak kisah mengenai orang-orang Majusi atau agama Zoroaster —para penyembah api— dalam sejarah Islam. Salah satu kisahnya adalah tentang Mabah bin Budzkhasyan bin Mousilan bin Bahbudzan bin Fairuz bin Sahrk Al-Isfahani. Nama yang panjang dan gelar “Al-Isfahani” di belakang adalah laqob yang menjelaskan bahwa pria ini berasal dari daerah bernama Isfahan, wilayah Persia tentang nama Laqob, baca Abu Hurairah dan Laqob Santri.Dari riwayat Abdullah bin Abbas, dikisahkan bahwa Mabah kecil merupakan penyembah api karena memang lahir dari keluarga Majusi. Ayahnya merupakan pemimpin di daerah tempatnya tinggal. Mabah adalah penganut kitab Zend Avesta yang taat. Bahkan ia mendapat jabatan mumpuni sebagai penjaga kuil di masa remajanya. Merujuk narasi yang dikisahkan ulang oleh Hadji Agus Salim dalam makalah “Salman Al-Farisi dan Kesaksian Nabi Muhammad” Pesan-Pesan Islam Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University, Bandung, 2011, tugas Mabah sebagai penjaga kuil tidak terlalu sulit. Ia hanya harus menjaga agar api di dalam kuil terus menyala. Namun, tugas ini juga membuatnya tidak bisa kemana-mana. Suatu saat sang ayah meminta Mabah untuk membantunya di kebun. Dalam perjalanan menuju kebun Mabah melewati sebuah gereja, diam-diam Mabah mendengarkan doa-doa dalam gereja yang dilewati. Dari sana, Mabah merasakan ketertarikan yang kuat. Begitu sampai rumah, Mabah menceritakan apa yang ia saksikan dalam perjalanan ke kebun. Mabah pun mengatakan kepada ayahnya bahwa ia tertarik dengan agama tersebut. Mendengarnya tentu saja ayah Mabah marah luar biasa dan mengurungnya di rumah. Pada waktu-waktu tertentu, penganut Nasrani di Isfahan punya ritual akan berangkat menuju ke Negeri Syam. Mabah yang mengetahuinya berontak. Dengan segala ia mencoba kabur dari rumah agar bisa ikut serta dalam rombongan. Dan ia berhasil. Sejak itulah Mabah mendaku diri sebagai seorang Nasrani. Mabah kemudian mempelajari dan menjadi seorang Nasrani yang taat. Berguru pada seorang pendeta Nasrani. Di tengah-tengah pembelajarannya, Mabah mendapat kabar dari gurunya bahwa di daerah yang tumbuh subur pohon Kurma di Jazirah Arab terdapat seorang nabi yang menyerukan agama baru. Begitu mendengar kabar itu, Salman pun berangkat. Di tengah perjalanan Mabah malah ditipu oleh rombongannya dan dijual sebagai budak. Mabah akhirnya jatuh ke tangan seorang Yahudi. Dari sanalah akhirnya ia malah menuju Madinah dan bertemu langsung dengan Nabi cerita, Mabah kemudian dibebaskan status budaknya oleh Nabi dengan harga 300 tunas pohon kurma dan beberapa dirham emas. Di saat yang bersamaan, Mabah mendapatkan nama baru. Abu Abdullah adalah nama yang dikenal oleh saudara-saudara barunya dan Salman Al-Farisi adalah nama yang kemudian lebih dikenal dalam sejarah Islam. Peristiwa itu terjadi antara periode setelah Perang Uhud 625 Masehi dan sebelum Perang Khandak 627 Masehi. As-Sirah an-Nabawiyyah fi Dhau’i al-Mashadir al-Ashliyyah Dirasah Tahliyyah, terj., 2005 376 Arti Penting Kekalahan dalam Perang Uhud Perang Badar dan Kemenangan Besar di Bulan Ramadan Menegur Ibadah Abu Darda’ Saat kedatangan Nabi Muhammad di Madinah, untuk mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin kelompok pendatang dan kaum Anshor penduduk asli Madinah, Nabi memiliki kebijakan untuk mempersaudarakan al-ikha’ setiap orang. Salman Al-Farisi dengan nama barunya ini pun tidak luput dari kebijakan tersebut. Di Madinah, Salman diikat persaudaraan dengan Abu Darda’, seorang penduduk asli yang sangat rajin beribadah. Bahkan dalam riwayat Imam al-Bukhari Hadist no. 1867 dari riwayat Juhaifah RA disebutkan bahwa ibadah Abu Darda’ masuk pada kategori ekstrem. Padahal, pemahaman dan perilaku agama yang ekstrem tidak dianjurkan. Nabi Muhammad pernah menegur sahabat Mu’adz bin Jabal ketika menjadi imam salat karena berlama-lama dengan bacaan surat yang begitu panjang. Hal yang menunjukkan bahwa pada tataran kecil saja, Nabi Muhammad begitu memerhatikan aspek keseharian para umatnya. Baca Kisah Unik di Balik Peninggalan Nabi Muhammad Hal yang sama terjadi dengan Abu Darda’, sahabat yang terlalu giat dalam ibadah. Salman baru mengetahui hal itu saat mengunjungi kediaman Abu Darda’. Salman heran melihat kelakuan dan penampilan Ummu Darda’, istri Abu Darda’, yang murung dengan pakaian kumal tidak terawat. Salman pun bertanya kepada Ummu Darda’. “Apa yang terjadi padamu?” “Lihatlah itu saudaramu,” kata Ummu Darda’, “dia tidak lagi membutuhkan dunia. Lalu untuk apa aku perlu memperhatikan diriku di hadapannya?” Abu Darda’ adalah salah satu sahabat Nabi yang selalu berpuasa setiap hari, salat sepanjang malam, sampai keluarganya tidak pernah diperhatikan. Melihat perilaku istri Abu Darda’, Salman berkesimpulan Abu Darda’ tidak peduli dengan keluarganya sendiri dan lebih memilih untuk selalu beribadah. Tak berselang lama Abu Darda’ datang membawa makanan dan mempersilakan saudaranya ini makan. “Makanlah, aku sedang berpuasa,” kata Abu Darda’ sedikit acuh. Mendengar itu, Salman sedikit terkejut. Jika Abu Darda’ selalu berpuasa, bagaimana ia memenuhi kebutuhan lahir-batin istrinya? Akhirnya Salman pun melemparkan sedikit ancaman. “Aku tidak akan makan kecuali kamu ikut makan,” kata Salman. Karena tidak enak dengan kunjungan saudaranya, Abu Darda’ akhirnya makan dan memilih membatalkan puasanya. Hal ini terus berlangsung setiap kali Salman mengunjungi kediaman Abu Darda’. Bahkan pada suatu malam, Abu Darda’ dengan entengnya meninggalkan pertemuan dengan Salman di rumahnya. Ia beranjak sembari mengenakan pakaian untuk salat sunah. Salman yang heran melihat kelakuan saudaranya itu pun menegur. “Tidurlah Abu Darda’,” kata Salman melihat bahwa ia lebih rela ditinggal tidur daripada ditinggal salat sunah. Tentu saja teguran ini didasari setelah memerhatikan bahwa Abu Darda’ sebenarnya sudah sangat letih. Abu Darda’ pun tidur. Karena takut bahwa saudaranya akan bangun lagi dan akan melaksanakan salat lagi, Salman memilih tidak pulang. Benar saja, tidak berselang lama Abu Darda’ terbangun dan ingin melakukan salat lagi. Baru akan bangun dari tempat tidurnya, Salman langsung menegur kembali, “Tidurlah.” Abu Darda’ lalu tidur kembali. Ketika sudah sepertiga malam, Salman yang semalaman menunggu tidur Abu Darda’ pun membangunkannya. “Nah, sekarang bangunlah,” kata Salman sambil mengajak salat bersama. Ketika salat malam selesai, Salman pun menegur saudaranya ini. “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu yang harus kau tunaikan, dirimu punya hak atasmu yang harus kau tunaikan, dan keluargamu punya hak atasmu yang harus kautunaikan,” kata Salman. “Tunaikanlah hak-hak tersebut kepada setiap pemiliknya,” kata Salman mengakhiri pembicaraan malam itu dan dibenarkan Nabi Muhammad beberapa hari kemudian. Hal yang menunjukkan bahwa ibadah yang melebihi batas merupakan tindakan yang tidak diperkenankan. Karena saat menegur Mu’adz, sahabat yang suka berlama-lama dalam salat seperti kisah sebelumnya, Nabi pernah berpesan. “Permudahlah dan jangan mempersulit, kabarkanlah kegembiraan dan jangan memberitakan ancaman, bersepahamlah dan jangan berselisih.” - Humaniora Reporter Ahmad KhadafiPenulis Ahmad KhadafiEditor Zen RS
Kabar duka datang dari Kasiman atau Salman Al Farisi, pemeran tokoh Koh Ahong dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Kasiman dikabarkan meninggal dunia pada Selasa (13/6/2023). Kabar duka ini disampaikan oleh aktor Rano Karno, pemeran tokoh Si Doel melalui akun Instagram pribadinya @si.rano. Rano Karno mengunggah foto dirinya loading...Kisah Abu Darda yang terlalu rajin ibadan sehingga melupakan istri tidak dibenarkan Rasulullah SAW. Foto/Ilustrasi Ist KIsah Abu Darda rajin ibadah sehingga melupakan istri dan membenci harta diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab Ash-Shahabah. Rasulullah SAW tidak membenarkan tindakan Abu Darda itu. Begitu juga Salman al-Farisi ."Wahai Abu Darda sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu dan keluargamu istrimu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka,” ujar Salman menasihati Abu Darda. Baca Juga Abu Juhaifah Wahb bin Abdillah ra mengatakan Nabi Muhammad SAW mempersaudarakan Salman al-Farisi ra dan Abu Darda ra. Setelah itu Salman mengunjungi rumah Abu Darda. Dia melihat Ummu Darda, yakni istri Abu Darda, memakai pakaian kerja yang buruk. “Wahai Ummu Darda, kenapa engkau berpakaian seperti itu?” tanya Salman.“Saudaramu Abu Darda sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di siang hari dia berpuasa dan di malam hari dia selalu sholat malam,” jawab Ummu datanglah Abu Darda. Ia menyiapkan hidangan makanan kepada Salman. “Makanlah wahai saudaraku, sesungguhnya aku sedang berpuasa,” ujar Abu Darda mempersilakan Salman untuk menikmati hidangan itu. “Aku tidak akan makan hingga engkau juga makan,” jawab Salman. Lantas Abu Darda pun ikut malam telah tiba, Abu Darda pergi untuk mengerjakan sholat. Akan tetapi, Salman menegurnya dengan mengatakan, “tidurlah” dan dia pun tidur. Tak lama kemudian dia bangun lagi dan hendak sholat, dan Salman berkata lagi kepadanya, “tidurlah.” Abu Darda pun menurut. Baca Juga Ketika malam sudah lewat Salman berkata kepada Abu Darda “Wahai Abu Darda, sekarang bangunlah.” Keduanya pun mengerjakan selesai sholat, Salman berkata kepada Abu Darda. "Wahai Abu Darda sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu dan keluargamu istrimu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka.”Selanjutnya Abu Darda mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian tersebut SAW menjawab, “Salman benar.” [HR al-BukhariSangat BijaksanaAbu Darda bernama asli Uwaimir bin Amir bin Mâlik bin Zaid bin Qais bin Umayyah bin Amir bin Adi bin Ka`b bin Khazraj bin al-Harits bin Khazraj. Ada yang berpendapat, namanya adalah Amir bin Mâlik, sedangkan Uwaimir adalah julukannya. Ibunya bernama Mahabbah binti Wâqid bin Amir bin Ithnâbah. Beliau termasuk sahabat yang akhir masuk Islam. Akan tetapi, beliau termasuk sahabat yang bagus keislamannya, seorang faqih, pandai dan bijaksana. Rasulullah SAW mempersaudarakannya dengan Salman al-Fârisi. Nabi SAW mengatakan, “Uwaimir adalah hakîmul ummah seorang yang sangat bijaksana.” Baca Juga Abu Darda mengikuti berbagai peperangan setelah perang Uhud. Adapun keikutsertaan beliau dalam perang Uhud masih juga, tentang penuturan Abu Darda. “Tatkala Nabi diutus menjadi rasul, ketika itu aku adalah seorang pedagang. Aku ingin menggabungkan ibadahku dan pekerjaanku, namun keduanya tidak bisa bersatu. Kemudian aku pun meninggalkan pekerjaanku dan memilih beribadah kepada Allah taala." "Demi Allah, alangkah senangnya seandainya aku memiliki toko di jalan menuju pintu masjid hingga aku tidak meninggalkan sholat. Aku bisa mendapatkan keuntungan empat puluh dinar dan bisa aku sedekahkan semua di jalan Allah SWT.” Islammengajarkan untuk berbuat sesuatu didasarkan untuk mencari ridha Allah. Jika yang dicari tidak menjadi miliknya, maka itu semata-mata Allah tidak menakdirkannya. Nah, jika kita mengalami peristiwa sebagaimana dialami Salman al-Farisi dan Abu Darda', maka tirulah sikap kesantunan dan keikhlasan beliau berdua dalam menerima takdir. 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID qLBVup6qx1OLGBZrc_Eb_SO_-ZFUms1tlmiKAskVg6oiX8PDN0JiuQ==
KisahCinta Salman Al-Farisi. June 15, 2016. 0. 2065. Berbagi di Facebook. Tweet di Twitter. tweet Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami," ujarnya kepada Abu Darda' dan Salman Al Farisi. Mewakili sang putri, ibunya pun berkata, "Mohon maaf kami perlu berterus terang," ujarnya membuat Salman dan Abu Darda' tegang
Saat kedatangan Rasulullah ﷺ di Madinah, untuk mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin kelompok pendatang dan kaum Anshor penduduk asli Madinah, Nabi memiliki kebijakan untuk mempersaudarakan al-ikha’ setiap orang. Salman Al-Farisi dengan nama barunya ini pun tidak luput dari kebijakan tersebut. Di Madinah, Salman diikat persaudaraan dengan Abu Darda’, seorang penduduk asli yang sangat rajin beribadah. Bahkan dalam riwayat Imam al-Bukhari Hadist no. 1867 dari riwayat Juhaifah RA disebutkan bahwa ibadah Abu Darda’ masuk pada kategori ekstrem. Padahal, pemahaman dan perilaku agama yang ekstrem tidak dianjurkan. Rasulullah ﷺ pernah menegur sahabat Mu’adz bin Jabal ketika menjadi imam salat karena berlama-lama dengan bacaan surat yang begitu panjang. Hal yang menunjukkan bahwa pada tataran kecil saja, Nabi begitu memerhatikan aspek keseharian para Sahabatnya. Hal yang sama terjadi dengan Abu Darda’, sahabat yang terla dan bertamulu giat dalam ibadah. Salman baru mengetahui hal itu saat mengunjungi kediaman Abu Darda’. Salman heran melihat kelakuan dan penampilan Ummu Darda’, istri Abu Darda’, yang murung dengan pakaian kumal tidak terawat. Salman pun bertanya kepada Ummu Darda’. “Apa yang terjadi padamu?.” “Lihatlah itu saudaramu,” kata Ummu Darda’, “dia tidak lagi membutuhkan dunia. Lalu untuk apa aku perlu memperhatikan diriku di hadapannya?” Abu Darda’ adalah salah satu sahabat Nabi yang selalu berpuasa setiap hari, shalat sepanjang malam, sampai keluarganya tidak pernah diperhatikan. Melihat perilaku istri Abu Darda’, Salman berkesimpulan Abu Darda’ tidak peduli dengan keluarganya sendiri dan lebih memilih untuk selalu beribadah. Tak berselang lama Abu Darda’ datang membawa makanan dan mempersilakan saudaranya ini makan. “Makanlah, aku sedang berpuasa,” kata Abu Darda’ sedikit acuh. Mendengar itu, Salman sedikit terkejut. Jika Abu Darda’ selalu berpuasa, bagaimana ia memenuhi kebutuhan lahir-batin istrinya?. Akhirnya Salman pun berkata. “Aku tidak akan makan kecuali kamu ikut makan,” kata Salman. Karena tidak enak dengan kunjungan saudaranya, dan setiap Muslim harus memuliakan tamunya, maka Abu Darda’ akhirnya makan memilih makan dan membatalkan puasanya. Baca Juga Sa’ad bin Ubadah Sahabat yang Gemar Sedekah Hal ini terus berlangsung setiap kali Salman mengunjungi kediaman Abu Darda’. Bahkan pada suatu malam, Abu Darda’ dengan entengnya meninggalkan pertemuan dengan Salman di rumahnya. “Engkau pasti lelah, tidurlah di ruang ini.” Ia beranjak sembari mengenakan pakaian untuk salat sunnah dan berdzikir sepanjang malam. Salman pun menegur. “Tidurlah Abu Darda’.” Tentu saja teguran ini didasari setelah memperhatikan bahwa Abu Darda’ sebenarnya sudah sangat letih. Abu Darda’ pun tidur. Karena takut bahwa saudaranya akan bangun lagi dan akan melaksanakan salat lagi, Salman memilih tidak pulang. Benar saja, tidak berselang lama Abu Darda’ terbangun dan ingin melakukan salat lagi. Baru akan bangun dari tempat tidurnya, Salman langsung menegur kembali, “Tidurlah.” Abu Darda’ lalu tidur kembali. Ketika sudah sepertiga malam, Salman yang semalaman menunggu tidur Abu Darda’ pun membangunkannya. “Nah, sekarang bangunlah,” kata Salman sambil mengajak salat bersama. Ketika shalat malam selesai, Salman pun menegur saudaranya ini. “Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atasmu yang harus kau tunaikan, dan dirimu punya hak atasmu yang harus kau tunaikan, badan dan matamu memiliki hak untuk istirahat, dan keluargamu punya hak atasmu yang harus kau tunaikan,” kata Salman. Salman melanjutkan, “Tunaikanlah hak-hak tersebut kepada setiap pemiliknya.” mengakhiri pembicaraan malam itu. Beberapa hari kemudian akhirnya Abu Darda’ mengadu kepada Rasulullah ﷺ prihal Salman yang membuat agendanya hariannya puasa batal dan shalat jadi berkurang. Namun hal yang disampaikan Salman dibenarkan Rasulullah ﷺ. Hal yang menunjukkan bahwa ibadah yang melebihi batas merupakan tindakan yang tidak diperkenankan. Karena saat menegur Mu’adz, sahabat yang suka berlama-lama dalam salat seperti kisah sebelumnya, Rasulullah ﷺ pernah berpesan. “Permudahlah dan jangan mempersulit, kabarkanlah kegembiraan dan jangan memberitakan ancaman, bersepahamlah dan jangan berselisih.” Maukah sahabat jadi bagian dari GYD Generasi Yang Dermawan untuk mensejahterakan anak-anak yatim dan dhuafa? Yuk tunaikan zakat, inaq-sedekah maupun wakaf di link kebaikan di bawah ini
\n \nkisah salman al farisi dan abu darda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda'. Tatkala Salman bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda', ia melihat Ummu Darda' (istri Abu Darda') dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, "Mengapa keadaan kamu seperti itu?"

LAZ al-Hilal – Apakah sahabat Al Hilal telah mengetahui kisah tentang Salman Al Farisi dan Abu Darda? Ya, kisah yang terjadi antara cinta dan persahabatan ini adalah kisah yang amat popular hingga saat ini. Untaian kata yang penuh hikmah dari Sahabat Rasulullah SAW “Ilmu itu luas, sedangkan umur kita pendek. Oleh karena itu, pilihlah ilmu yang sangat kamu butuh kan bagi agamamu dan tinggalkan yang lain.” yang masih popular dan penuh hikmah ini pun masih popular hingga saat ini sebagai sejarah dari seorang yang tak kenal Lelah berjalan menjemput hidayah. Sedikit sejarah bagi sahabat Al Hilal yang belum mengenal Salman Al Farisi, beliau terlahir di salah satu Desa yang ada di Persia. Salman kecil tumbuh sebagai pengikut Majusi yang menyembah api. Maklum saja ayahnya tergolong penganut Majusi yang ditokohkan. Namun fitrahnya yang lurus mengantarkan Salman pada pencarian panjang akan kebenaran. Bermula dari perpindahan satu Negeri ke Negeri lainnya ditempuh Ia tanpa Lelah. Perjalanan mencari Ilmu yang Ia tekuni tak lepas dari kehidupan-kehidupan yang lainnya, seperti asmara. Termasuk persahabatan yang terjalin di antara Salman Al Farisi dan Abu Darda yang berasal dari Anshar. Dua sahabat seia- sekata. Sampai suatu ketika Salman dihadapkan pada peristiwa yang menguji keakraban mereka. Apa itu? Saat itu dalam diam Salman memendam getar rasa pada seorang wanita dari Anshar dan Pernikahanlah yang menjadi satu-satunya jalan untuk menghalalkan rasa tersebut. Dikisahkan, Salman Al Farisi berniat untuk meminang gadis tersebut dengan dihantarkan langsung oleh sang Sahabat, Abu Darda yang berasal dari asal daerah Gadis tersebut yaitu Anshar. Tetapi apa yang didapatkannya? Berdegup jantung Salman Al-Farisi semakin cepat dalam penantian. Sampai akhirnya meluncur kata demi kata dari ibunda yang mewakili putrinya. “Maafkan kami atas keterusterangan ini. Dengan mengharap ridho Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda juga memiliki maksud yang sama, maka putri kami bersedia.” Lamaran yang ia tujukan ditolak! Tetapi, kukuhnya iman yang Ia miliki mampuu membuatnya untuk berdiri tegar. Betapa luas samudra hati Salman Al- Farisi. Kegagalan tak membuat ia jatuh terpuruk berlarut-larut. Apalagi di sisinya ada sahabat sejati yang beroleh kebahagiaan. Wajah Salman kembali berbinar ikut larut dalam kegembiraan saudaranya. MasyaAllah…

KisahSalman alfarisi dan Abu darda saat melamar Wanita Subhan Salim | Artikel. Oleh : Subhan Salim, S.Pdi Salman Alfarisi sahabat nabi yang cukup familiar karena idenya yang brilian dalam melindungi kota Mekah pada saat perang khondak yaitu membuat sebuah parit yang merupakan strategi yang belum pernah dipakai sebelumnya dalam perang manapun.

Kisah tentang sahabat rasul memang banyak menyimpan ibrah dan teladan. Termasuk sepenggal episode kisah dua orang sahabat rasul, Salman al-Farisi Ra. dan Abu Darda Ra. yang memang sudah begitu seorang Salman al-Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah saw berdarah Persia. Sebelum memeluk Islam, ia termasuk bagian dari orang-orang majusi, penyembah api Zoroaster. Namun ketika cahaya Islam menyentuhnya – layaknya para sahabat yang lain – menjadi salah seorang yang militan dan semangat dalam membela ketika Salman al-Farisi tengah gundah gulana, sang arsitek Perang Khandak tersebut tengah mencari jodoh. Mungkin lama sudah ia membujang hingga perlunya ingin segera mengakhiri masa Salman al-Farisi telah lama mengincar salah seorang perempuan salihah yang hendak ia khitbah dalam waktu dekat. Menurur riwayat, perempuan pujaan Salman tersebut adalah gadis Anshor yang merupakan seorang mu’minah nan cantik lagi urusan khitbah bukan permasalahan sepele bagi Salman, ia butuh seorang perantara untuk menyampaikan keinginannya melamar sang pujaan. Terbesitlah salah seorang sahabat karibnya untuk dimintai pertolongan, Abu bukanlah tempat kelahiran dan daerah asal Salman al-Farisi, oleh karenanya ia meminta Abu Darda menjadi perantara prosesi khitbahnya. Keinginnan Salman pun disampaikan ke Abu Darda. “Subhanallah wal Hamdulillah” ucap Abu Darda dengan penuh kegirangan setelah mendengar keinginan sahabatnya Salman yang hendak meminta bantuannya perihal Darda pun tak perlu pikir panjang, dengan senang hati ia membantu hajat sahabatnya tiba waktunya mereka berdua menuju ke rumah gadis anshar yang disukai oleh Salman al-Farisi. Setelah sampai di rumah orang tua fulanah tersebut, Abu Darda bertemu dengan kedua orang tuanya. Tanpa babibu panjang lebar, Abu Darda mengungkapkan perihal maksud kedatangannya.“Saya adalah Abu Darda dan ini adalah saudara saya Salman al-Farisi dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia telah memiliki kedudukan mulia di mata Rasulullah Saw. hingga beliau menyebutnya sebagai ahlul bait,” ucap Abu Darda dengan penuh wibawa.“Saya datang ke sini mewakili saudara saya Salman al-Farisi untuk melamar putri Anda”.Ternyata sang gadis telah mendengar sayup-sayup dari bilik rumah perbincangan antara kedua orang tuanya dan Abu Darda. Sang Ayah dari seorang putri yang diidamkan oleh Salman pun mengembalikan semua keputusan pada putrinya, apakah menerima atau sang Ibunda berbicara mewakili putrinya dan takdir Allah berkehendak lain. “Maafkan kami atas keterusterangan ini, putri kami menolak dengan penuh hormat pinangan ananda Salman al-Farisi.”Tak cukup sampai disitu, bak halilintar di siang bolong, Ibu dari sang putri shalihah berucap “Namun jika Saudara Abu Darda memiliki tujuan yang sama, maka putri kami lebih memilih antum sebagai calon suaminya.”Bayangkan jika kita berada di posisi Salman saat itu, apa yang akan kita lakukan mendengar hal tidak demikian dengan Salman al-Farisi, di sinilah letak kemuliaan manusia-manusia hasil didikan Rasulullah Saw. Dengan fasih dan berwibawa ia berujar “Semua mahar dan nafkah yang aku persiapkan ini aku serahkan kepada Abu Darda.”Tak cukup berkata itu, Salman kembali mengucap lantang “Dan aku akan menjadi saksi atas pernikahan kalian”.Kisah tersebut akhirnya termaktub dan mengekal dalam sejarah Islam karena kemuliaan Salman al-Farisi yang tidak menuhankan cinta semata. Bayangkan jika Salman bersikap sebaliknya, berputus asa, galau merana, lari mengambil pisau atau mencari tebing untuk mengakhiri hidupnya, mungkin hanya akan menjadi romansa picisan yang cepat khitbah, nikah dan jodoh adalah satu hal yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih di bulan Syawal ini, ratusan jomlo dipastikan melepas masa lajangnya sekaligus masih banyak pula para jomlo yang semakin galau melihat berderet sahabat angkatan gengnya telah dari kisah tersebut tidak semata meneladani kualitas akhlak dan keimanan Salman al-Farisi semata, tentu masih ada hikmah yang lain. Yaitu untuk kaum jomlo biar gak jadi pagar makan tanaman alangkah baiknya pastikan mak comblang’ yang kamu pilih saat melamar si dia tidak lebih keren atau lebih tampan daripada kamu, tidak juga lebih kaya dari kamu, syukur-syukur dia sudah menikah, tentu itu lebih aman. Intinya tetap semangat aja mencari jodoh ya A’lam.
\n\n \n\n\n \n\nkisah salman al farisi dan abu darda
Saya adalah Abu Darda', dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya.
Salman telah dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan Abu Darda’. Suatu nasehat berharga yang disampaikan Salman pada Abu Darda’ dan wejangan ini diiyakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah supaya Abu Darda’ tidak hanya sibuk ibadah, sampai lupa istirahat dan melupakan keluarganya. Dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdullah berkata, آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – صَدَقَ سَلْمَانُ » “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang ziarah ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ istri Abu Darda’ dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.” Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali. Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.” Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” HR. Bukhari no. 1968. Beberapa faedah dari hadits di atas 1- Disyari’atkan mempersaudarakan sesama muslim karena Allah. 2- Disunnahkan pula bertandang berziarah ke saudara muslim dan bermalam di sana. 3- Bolehnya berbicara dengan wanita non mahram ketika ada hajat. 4- Boleh bertanya perkara yang mengandung maslahat walaupun tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan orang yang bertanya. 5- Sesama muslim hendaklah saling menasehati apalagi ketika melihat saudaranya keliru atau lalai dari ketaatan. 6- Keutamaan shalat sunnah di akhir malam. 7- Disunnahkan bagi istri untuk berhias diri bagi suaminya. 8- Istri memiliki hak yang mesti dijalani suami yaitu hubungan interaksi yang baik, termasuk pula dalam hal hubungan intim, jatah istri pun mesti diberikan. 9- Bolehnya melarang melakukan perkara sunnah jika sampai terjerumus dalam kekeliruan atau lalai melakukan hal yang wajib. 10- Hadits ini menunjukkan larangan menyusah-nyusahkan memberatkan diri dalam ibadah. 11- Bolehnya membatalkan puasa sunnah. Inilah pendapat jumhur mayoritas ulama dan tidak ada kewajiban qodho’ jika puasa tersebut ditinggalkan. Demikian faedah yang penulis ringkaskan dari penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari. Sekian sajian singkat dari faedah hadits di atas. Moga bermanfaat bagi pengunjung sekalian. Baca Juga Petuah Abu Qilabah, Balasan Karena Tingkahmu Sendiri Referensi Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H, 4 212. Selesai disusun selepas Ashar sehabis safar dari Surabaya, 26 Syawal 1434 H Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul Artikel Silakan follow status kami via Twitter RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Kunjungi tiga web kami lainnya 1 Pesantren DarushSholihin, 2 Bisnis Pesantren di 3 Belajar tentang Plastik NurulHuda 11 Februari 2020 1967. Salman al Farisi adalah sahabat dekat Rasullah SAW. Saking dekatnya, Aisyah RA pernah berkata, "Salman adalah sahabat yang sangat dan dekat sekali dengan Nabi SAW. Sedemikian dekat dan akrabnya sampai lebih dekat dan akrab daripada kami sendiri.". Banyak hal yang bisa dijadikan teladan bagi sahabat yang
KETIKA Salman Al-Farisi, sahabat yang terkenal dengan idenya untuk membuat parit dalam Perang Khandaq. Rasulullah Saw. mempersaudarakannya dengan Abu Al-Darda’, sahabat beliau dari suku Khazraj. Sebelum memeluk Islam, Abu Al-Darda adalah seorang pedagang. Suatu ketika Salman Al-Farisi berkunjung ke rumah saudaranya yang kelak diangkat oleh Umar bin Al-Khaththab sebagai seorang hakim di Damaskus, Suriah. Kala itu, Abu Al-Darda belum pulang. Begitu dipersilakan masuk ke dalam rumah, dia melihat istri saudaranya tersebut berpakaian lusuh. Melihat hal itu, Salman pun bertanya kepada Khairah, istri Abu Al-Darda’, “Umm Al-Dardasa, kenapa engkau seperti ini?” BACA JUGA Ditolak Dua Sahabat, Dimuliakan Rasulullah “Saudaramu, Abu Al-Darda, kini tak lagi memerlukan dunia,” jawab Umm Al-Darda dengan suara pelan. Ketika Abu Al-Darda datang, makanan pun dihidangkan kepada Salman Al-Farisi. Abu Al-Darda kemudian berkata kepada saudaranya yang lahir di Isfahan, itu, “Saudaraku, silakan nikmati makanan ini sendiri. Aku sedang berpuasa sunnah.” “Saudaraku,” jawab Salman, “aku tak kan makan selama engkau tak makan bersamaku!” Abu Al-Darda pun makan untuk menghormati tamunya. Ketika malam datang dan kemudian semakin kelam, Abu Al-Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat hal itu, Salman pun berkata kepadanya, “Saudaraku! Tidurlah!” Abu Al-Darda pun menuruti permintaan saudaranya yang kelak menjadi Gubernur Mada’in Ctesiphon itu. Kemudian, ketika malam semakin malam, Abu Al-Darda bangun lagi untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat saudaranya yang memeluk Islam pada tahun terjadinya Perang Badar tersebut hendak melaksanakan shalat tahajud, Salman sekali lagi mencegahnya dan memintanya tidur. Permintaan itu dipenuhi Abu Al-Darda’ untuk menghormati tamunya. Ketika malam hampir tiba di akhir perjalanannya, Salman Al-Farisi bangun dan berkata kepada Abu Al-Darda’, “Sekarang, mari kita shalat tahajud berjamaah!” BACA JUGA Inilah Keunggulan Para Sahabat Nabi Mereka berdua lantas melaksanakan shalat tahajud berjamaah. Selepas shalat, Salman kemudian berkata kepada Abu Al-Darda’, “Saudaraku! Tuhanmu punya hak yang harus engkau penuhi. Istrimu juga punya hak yang harus engkau penuhi. Karena itu, penuhilah hak masing-masing secara seimbang!” Merasa kurang yakin dengan masukan Salman Al-Farisi, keesokan harinya Abu Al-Darda’ menemui Rasulullah Saw. dan menuturkan hal itu. Mendengar keluhan Abu Al-Darda’ tersebut, beliau berkata, “Abu Al-Darda’ Salman memang benarli. [] Sumber Rumah Cinta Rasulullah/ Muhammad Rofi Usmani/ Mizan/ 2007
Rasulullahdan para sahabat langsung menyetujui ide brilian Salman Al-Farisi. Pembangunan parit segera dimulai oleh seluruh umat Islam. Pembangunan parit yang memiliki panjang 5.544 meter, lebar 4,62 meter, dan dalam 3.234 meter membutuhkan waktu 6-24 hari. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”Keterusterangan yang di luar kiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” Lihat Lyfe Selengkapnya
📚 TEMATIK | Kisah Abu Darda dan Salman Al Farisi radhiyallahu'anhumaBersama : Ustadz Fariq Gasim Anuz حفظه اللهLokasi :Masjid Pogung Dalangan, YogyakartaHa

Kisahini bermula saat Salman Al Farisi berkunjung ke rumah Abu Darda'. Seperti diketahui, Salman Al Farisi dan Abu Darda' dipersaudarakan oleh Rasulullah pada awal hijrah. Telah beberapa lama Salman tidak mengunjungi saudaranya itu. Dan kali ini, saat ia berada di rumahnya, ia melihat Ummu Darda' mengenakan pakaian yang lusuh.

HalimahAs-Sa'diyah ( Arab: حليمة السعدية) adalah ibu susu dari Nabi Muhammad. Ia dan suaminya, Harits bin Abdil Uzza berasal dari suku Hawazin di Desa Al-Hudaibiyyah. [1] Halimah As-Sa'diyah memiliki beberapa nama, yaitu Halimah binti Abdullah dan Halimah bint Abi Dhuayb. [2]
Wednesday 2 April 2014. Sajadah Muslim - Rasulullah SAW pernah bersabda tentang Salman al-Farisi ra : "Seandainya keimanan itu berada (jauh) di bintang Tsurayya, niscaya orang-orang dari mereka ini telah meraihnya". Muttafaq 'alaih. Banyak hati yang tergerak untuk mencari kebenaran. Tak sedikit orang yang mengayunkan langkah, menelusuri
TopikSalman Al-Farisi. Kita semua memiliki mimpi yang berbeda dan kita juga punya hak atas mimpi-mimpi itu, tinggal bagaimana kita mengemas dan membungkus mimpi-mimpi itu menjadi lebih baik. Sudah menjadi fitrah manusia dikaruniai keinginan terhadap sesuatu. Ingin memiliki jabatan, kedudukan, kekayaan, keturunan, pria, wanita dan lain sebagainya. Dikisahkan Salman Al Farisi berniat untuk meminang gadis tersebut dengan dihantarkan langsung oleh sang Sahabat, Abu Darda yang berasal dari asal daerah Gadis tersebut yaitu Anshar. Tetapi apa yang didapatkannya? Pek1.